LAPORAN PENDAHULUAN
TRAUMA
KAPITIS
A.
Konsep
Medis
A.
Defenisi
Cedera
kepala adalah kerusakan neurologis yang terjadi akibat adanya trauma pada
jaringan otak yang terjadi secara langsung maupun efek sekunder dari trauma
yang terjadi (Price, 1985).
Trauma kepala adalah suatu trauma yang mengenai daerah kulit
kepala, tulang tengkorak atau otak yang terjadi akibat injury baik secara
langsung maupun tidak langsung pada kepala. (Suriadi & Rita Yuliani, 2001).
Trauma kepala adalah suatu trauma yang mengenai daerah kulit
kepala, tulang tengkorak atau otak yang terjadi akibat injury baik secara
langsung maupun tidak langsung pada kepala. (Suriadi & Rita Yuliani, 2001).
Cedera kepala adalah suatu trauma yang mengenai daerah kulit
kepala, tulang tengkorak atau otak yang terjadi akibat injury baik secara
langsung maupun tidak langsung pada kepala. (Suriadi, 2003).
B.
Anatomi Fisiologi
a. Anatomi
Tengkorak dibentuk oleh beberapa tulang.
Masing-masing tulang kecuali mandibula disatukan pada sutura. Sutura dibentuk
oleh selapis tipis jaringan fibrosa yang mengunci pinggiran tulang yang
bergerigi. Sutura mengalami osifikasi setelah umur 35 tahun. Pada atap
tengkorak, permukaan dalam dan luar dibentuk oleh tulang padat dengan lapisan
spongiosa yang disebut diploie terletak diantaranya. Terdapat fariasi yang
cukup besar pada ketebalan tulang tengkorak antar individu. Tengkorak paling
tebal yang dilindungi oleh otot (Westmoreland,1994).
Jenis-jenis tengkorak :
1)
Os frontale
2)
Os parientale dextra dan
sinistra
3)
Os occipital
4)
Os temporal dextra dan
sinistra
5)
Os ethmoidale
6)
Os sphenoidale
7)
Maxilla
8)
Mandibula
9)
Os zygomatikum dextra dan
sinistra
10)
Os platinum dextra dan
sinistra
11)
Os nasale dextra dan
sinistra
12)
Os lacrimale dextra dan
sinistra
13)
Vomer
14)
Concha dextra dan sinistra
b.
Fisiologi
Fungsi tengkorak (Westmoreland,1994) adalah:
1) Melindungi otak dan indera penglihatan
dan pendengaran
2) Sebagai tempat melekatnya otot yang
bekerja pada kepala
3) Sebagai tempat penyangga gigi
C.
Etiologi
Trauma kepala/cedera kepala dapat disebabkan
oleh beberapa peristiwa, diantaranya:
1. Kecelakaan lalu lintas.
2. Benturan pada kepala.
3. Jatuh dari ketinggian dengan dua
kaki.
4. Menyelam di tempat yang dangkal.
5. Olahraga yang keras.
6. Anak dengan ketergantungan.
Cedera pada trauma
dapat terjadi akibat
tenaga dari luar
(Arif Musttaqin, 2008) berupa:
1. Benturan/jatuh karena kecelakaan
2.
Kompresi/penetrasi baik oleh benda tajam, benda tumpul,
peluru dan ledakan panas.
Akibat
cedera ini berupa memar, luka jaringan lunak, cedera muskuloskeletal dan
kerusakan organ
D.
Patofisiologi
Mekanisme
cedera memegang peranan penting dalam menentukan berat-ringannya konsekuensi
patofisiologi dari trauma kepala. Cedera percepatan (aselerasi) terjadi jika
benda yang sedang bergerak membentur kepala yang diam, seperti trauma akibat
benda tumpul atau karena terkena lemparan benda tumpul. Cedera perlambatan
(deselerasi) adalah bila kepala membentur objek yang secara relative tidak
bergerak, seperti badan mobil atau tanah. Kedua kekuatan ini mungkin terjadi
secara bersamaan bila terdapat gerakan kepala tiba-tiba tanpa kontak langsung,
seperti yang terjadi bila posisi badan diubah secara kasar dan cepat. Kekuatan
ini bisa dikombinasi dengan pengubahan posisi rotasi pada kepala, yang menyebabkan
trauma regangan dan robekan pada substansi alba dan batang otak (Prince &
Wilson, 1995).
Cedera
primer, yang terjadi pada waktu benturan mungkin karena memar pada permukaan
otak, leserasi substansia alba, cedera robekan atau hemoragi. Sebagai akibat,
cedera sekunder dapat terjadi sebagai kemampuan auto regulasi serebral
(peningkatan volume darah) pada area peningkatan permeabilitas kapiler serta
vasodilatasi arterial, semua menimbulkan peningkatan intracranial (TIK).
Beberapa kondisi yang dapat menyebabkan cedera otak sekunder meliputi hipoksia,
hiperkarbia dan hipotensi (Prince & Wilson, 1995).
E.
Manifestasi Klinis
1. Hilangnya
kesadaran kurang dari 30 menit atau lebih
2. Kebungungan
3. Iritabel
4. Pucat
5. Mual
dan muntah
6. Pusing
kepala
7. Terdapat
hematoma
8. Kecemasan
9. Sukar
untuk dibangunkan
10. Bila
fraktur, mungkin adanya cairan serebrospinal yang keluar dari hidung
(rhinorrohea) dan telinga (otorrhea) bila fraktur tulang temporal.
F.
Mekanisme Cedera
Mekanisme cedera / trauma kepala,
meliputi :
1. Akselerasi
Jika
benda bergerak membentur kepala yang diam, misalnya pada orang yang diam
kemudian dipukul atau dilempar.
2. Deselerasi
Jika kepala bergerak membentur
kepala yang diam, misalnya pada kepala yang terbentur.
3. Deformitas
Perubahan
atau kerusakan pada bagian tubuh yang terjadi akibat trauma, misalnya adanya
fraktur kepala, kompresi, ketegangan atau pemotongan pada jaringan otak.
G.
Klasifikasi cedera
Klasifikasi Cedera Kepala (Arif
Muttaqin, 2008)
a. Cedera kepala primer
Cedera kepala primer mencakup : fraktur
tulang, cedera fokal dan cedera
otak difusa, yang masing-masing mempunyai mekanisme etilogis dan
patofisiologi yang unik.
1)
Fraktur tulang kepala dapat terjadi dengan atau tanpa
kerusakan otak, namun biasanya ini bukan merupakan penyebab utama timbulnya
kacacatan neurologis.
2)
Cedera fokal merupakan akibat kerusakan setempat yang
biasanya dijumpai pada kira-kira separuh dari kasus cedera kepala berat.
Kelainan ini mencakup kontusi kortikal, hematom subdural, epidural dan
intraserebral yang secara makroskopis tampak dengan mata telanjang sebagai
suatu kerusakan yang berbatas tegas.
3)
Cedera otak dufusa pada dasarnya berbeda dengan cedera
vokal, dimana keadaan ini berkaitan dengan disfungsi otak yang luas serta
biasanya tidak tampak secara mikroskopis. Mengingat bahwa kerusakan yang
terjadi kebanyakan melibatkan akson-akson, maka cedera ini juga dikenal dengan cedera
aksional difusa.
b. Kerusakan otak sekunder
Cedera kepala berat seringkali
menampilkan gejala abnormalitas/gangguan
sistemik akibat hipoksia dan hipotensi, dimana keadaan-keadaan ini merupakan
penyebab yang sering dari kerusakan otak sekunder. Hipoksia dan hipotensi
semata akan menyebabkan perubahan-perubahan minimal, yang kemudian bersamaan
dengan efek cedera mekanis memperberat gangguan-gangguan metabolisme serebral.
Hipoksia dapat merupakan akibat dari
kejadian aspirasi, obstyruksi jalan nafas atau cedera toraks yang terjadi
bersamaan dengan trauma kepala, namun sering juga terjadi hipoksia pasca cedera
kepala dengan ventilasi normal dan tanpa adanya keadaan-keadaan tersebut di
atas.
Hipotensi pada penderita cedera
kepala biasanya hanya sementara yaitu sesaat setelah konkusi atau merupakan
tahap akhir dari kegagalan meduler yang berkaitan dengan herniasi cerebral.
c. Edema cerebral
Tipe yang terpenting pada kejadian
cedera kepala adalah edema vasogenik dan edema iskemik. Edema vasogenik
disebabkan oleh adanya peningkatan permeabilitas kapiler akibat sawar darah
otak sehingga terjadi penimbunan cairan plasma ekstraseluler terutama di massa
putih serebral. Edema iskemik merupakan penimbunan cairan intraseluler sehingga
sel tersebut tidak dapat mempertahankan keseimbangan cairannya.
Edema cerebral yang mencapai
maksimal pada hari ke tiga pasca cedera, dapat menimbulkan suatu efek massa
yang bermakna. Di samping itu edema ini sendiri dapat juga terjadi, tanpa
adanya tampilan suatu konstusi atau pendarahan intraserebral. Keadaan ini dapat
terjadi akibat gangguan sekunder dari hipotensi sistemik dan hipoksia, cedera
arterial atau hipertensi intracranial. Gangguan aliran darah cerebral trauma
yang mengakibatkan anoksia jaringan juga tampil sebagai daerah “swelling”
hipodens difus.
d. Pergeseran otak(Brain Shift)-herniasi
batang otak
Adanya satu massa yang berkembang
membesar (hemotom, abses atau pembengkakan otak) di semua lokasi dalam kavitas
intracranial (epidural/ubdural/intracerebral supra/infratentorial) biasanya
akan menyebab pergeseran dan distori otak, bersamaan dengan peningkatan
intracranial akan mengarah terjadinya herniasi otak.
H.
Jenis-jenis trauma capitis
Menurut Bornner dan suddarth, 2002
jenis-jenis trauma capitis yaitu :
a. Fraktur
Fraktur kalvaria atau atap tengkorak apabila tidak terbuka
tidak ada hubungan dengan dunia luar tidak memerlukan perhatian segera yang lebih
penting adalah intracranialnya. Fraktur basis cranium dapat berbahaya terutama
karena perdarahan yang ditimbulkan sehingga menimbulkan ancaman pada jalan
nafas.
b.
Comosio
cerebri (gegar otak)
Kehilangan kesadaran sebentar dibawah 15 menit dan tidak
berbahaya,
penderita
tetap dibawa ke rumah sakit karena kemungkinan cedera yang lain.
c.
Kontusio
cerebri
Kehilangan
kesadaran lebih lama, dalam kepustakaan saat ini dikenal sebagai DAI (Difus
Absonal Injury) yang mempunyai prognosis yang lebih buruk.
d. Perdarahan intracranial
Perdarahan
intracranial dapat berupa perdarahan epidural, perdarahan subdural atau
perdarahan intracranial. Perdarahan epidural dapat berbahaya karena perdarahan
berlanjut atau menyebabkan peninggian tekanan intracranial yang semakin berat.
I.
Klasifikasi klinis cedera kepala
Cedera kepala pada praktek klinis
sehari-hari dikelompokkan atas empat gradasi sehubungan dengan kepentingan
seleksi perawatan penderita, pemantauan diagnostic-klinik penanganan dan
prognosisnya (Brunner & Suddarth, 2001) yaitu:
a. Tingkat I : Bila dijumpai adanya riwayat kehilangan kesadaran/pingsan yang sesaat setelah
mengalami trauma, kemudian sadar kembali. Pada waktu diperiksa dalam keadaan
sadar penuh, orientasi baik dan tidak ada defisit neurologist.
b. Tingkat II :Kesadaran menurun namun masih dapat mengikuti
perintah-perintah yang sederhana, dan dijumpai adanya defisit neurologis vokal.
c. Tingkat III : Kesadaran yang sangat menurun dan tidak bisa mengikuti
perintah (walaupun sederhana) sama sekali. Penderita masih bisa bersuara namun
susunan kata-kata dan orientasinya kacau, gaduh serta gelisah. Respon motorik
bervariasi dari keadaan yang masih mampu melokalisir rasa sakit sampai tidak
ada respon sama sekali. Postur tubuh dapat menampilkan posisi
dekortikasi-deserebrasi.
d. Tingkat IV : Tidak ada fungsi neurologis sama sekali.
J.
Kategori Penentuan Keparahan Cedera Berdasarkan Nilai
Glasgow Comma Scale (GCS) Menurut At a glance, 2006.
Penentuan
Keparahan
|
Deskripsi
|
Frekuensi
|
Minor
Sedang
Berat
|
- GCS 13 – 15
- Dapat terjadi kehilangan kesadaran atau amnesia tetapi
kurang dari 30 menit
- Tidak ada fraktur tengkorak, tidak ada konstusio cerebral,
hematoma, abrasi, pusing dan nyeri kepala
- GCS 9 – 12
- Kehilangan kesadaran atau amnesia lebih dari 30 menit tapi
kurang dari 24 jam
- Dapat mengalami faktur tengkorak
- Muntah
- GCS 3 – 8
- Kehilangan kesadaran atau amnesia lebih dari 24 jam
- Juga meliputi konstusio cerebral, laserasi atau hematona
intracranial
- Tanda neurologis vocal
- Teraba fraktur
|
55 %
24 %
21 %
|
K.
Komplikasi
Komplikasi yang terjadi pada cedera
kepala menurut Arif Muttaqin, 2008.
a.
Hemorhagic
b.
Infeksi
c.
Edema
d.
Herniasi
L.
Penanganan Cedera Kepala
Penanganan kasus-kasus cedera kepala
di unit gawat darurat/
emergensi didasarkan atas patokan pemantauan dan penanganan terhadap “6
B”(Arif Muttaqin 2008),yakni:
1) Breathing
Perlu
diperhatikan mengenai frekuensi dan jenis pernafasan penderita. Adanya
obstruksi jalan nafas perlu segera dibebaskan dengan tindakan-tindakan :
suction, inkubasi, trakheostomi. Oksigenasi yang cukup atau hiperventilasi bila
perlu, merupakan tindakan yang berperan penting sehubungan dengan edema
cerebri.
2) Blood
Mencakup
pengukuran tekanan darah dan pemeriksaan laboratorium darah (Hb, leukosit).
Peningkatan tekanan darah dan denyut nadi yang menurun mencirikan adanya suatu
peninggian tekanan intracranial, sebaliknya tekanan darah yang menurun dan
makin cepatnya denyut nadi menandakan adanya syok hipovolemik akibat perdarahan
(yang kebanyakan bukan dari kepala/otak) dan memerlukan tindakan transfusi.
3) Brain
Penilaian
keadaan otak ditekankan terhadap respon-respon mata, motorik dan verbal (GCS).
Perubahan respon ini merupakan implikasi perbaikan/perburukan kiranya perlu
pemeriksaan lebih mendalam mengenai keadaan pupil (ukuran, bentuk dan reaksi
terhadap cahaya) serta gerakan-gerakan bola mata.
4) Bladder
Kandung
kemih perlu selalu dikosongkan (pemasangan kateter) mengingat bahwa kandung
kemih yang penuh merupakan suatu rangsangan untuk mengedan sehingga tekanan
intracranial cenderung lebih meningkat.
5) Bowel
Seperti
halnya di atas, bahwa yang penuh juga cenderung dapat meninggikan TIK.
6) Bone
Mencegah
terjadinya dekubitus, kontraktur sendi dan sekunder infeksi
B.
Konsep
Asuhan Keperawatan Trauma Capitis
1.
Pengkajian
Data dasar
tergantung pada tipe, lokasi dan keparahan cedera dan mungkin dipersulit oleh
cedera tambahan pada organ-organ vital (Marilynn, 1999 ).
a.
Aktivitas/Istirahat
Gejala : Merasa
lemah, lelah, hilang keseimbangan
Tanda :Perubahan
kesadaran, letargi, hemiparese quadreplegia, ataksia, cara berjalan tak tegap.
Masalah dalam keseimbangan cedera (trauma) ortopedi, kehilangan tonus otot dan
otot spastik.
b.
Sirkulasi
Gejala :
Perubahan tekanan darah atau normal (hipertensi)
Tanda :Perubahan
frekwensi jantung (bradikardia, takikardia yang diselingi dengan bradikardia dan
disritmia).
c.
Integritas Ego
Gejala : Perubahan
tingkah laku atau kepribadian (tenang atau
dramatis).
Tanda : Cemas,
mudah tersinggung, delirium, agitasi, bingung, depresi dan impulsif.
d.
Eliminas
Gejala : Inkontinentia
kandungan kemih/usus atau mengalami gangguan fungsi.
e.
Makanan/Cairan
Gejala : Mual,
muntah dan mengalami perubahan selera.
Tanda : Muntah
(mungkin proyektil), gangguan menelan (batuk, air liur keluar dan disfagia).
f.
Neurosensori
Gejala :Kehilangan
kesadaran sementara, amnesia seputar kejadian, vertigo, sinkope, tinitus, kehilangan
pendengaran, tingling, baal pada ekstremitas. Perubahan dalam penglihatan
seperti ketajamannya, diplopia, kehilangan sebagian lapang pandang, fotofobia,
gangguan pengecapan dan juga penciuman.
Tanda : Perubahan
kesadaran sampai koma. Perubahan status mental (orientasi, kewaspadaan,
perhatian, konsentrasi, pemecahan masalah, pengaruh emosi/tingkah laku dan
memori), Perubahan pupil (respon terhadap cahaya, simetri) deviasi pada mata,
ketidakmampuan mengikuti perintah. Kehilangan penginderaan seperti pengecapan,
penciuman dan pendengaran, wajah tidak simetri, genggaman lemah, tidak
seimbang, refleks tendon dalam tidak ada atau lemah, apraksia, hemiparise,
quedreplegia, postur (dekortikasi dan deserebrasi), kejang, sangat sensitif
terhadap sentuhan dan gerakan, kehilangan sensasi sebagian tubuh.
g.
Nyeri/Kenyamanan
Gejala : Sakit
kepala dengan intensitas dan lokasi yang berbeda, biasanya lama.
Tanda : Wajah
menyeringai, respon menarik pada rangsangan nyeri yang hebat, gelisah, tidak
bisa beristirahat, merintih.
h.
Pernapasan
Tanda : Perubahan
pola napas (apnea yang diselingi oleh hiperventilasi). Napas berbunyi, stridor,
tersedak, ronki, mengi positif (kemungkinan karena aspirasi).
i.
Keamanan
Gejala : Trauma
baru/trauma karena kecelakaan.
Tanda : Fraktur/dislokasi.
j.
Gangguan penglihatan
Kulit laserasi,
abrasi, perubahan warna, seperti “raccoon eye” tanda Batle di sekitar telinga
(merupakan tanda adanya trauma), adanya aliran cairan (drainase) dari telinga/hidung (CSS).
k.
Gangguan kognitif.
Gangguan rentang
gerak, tonus otot hilang, kekuatan secara umum mengalami paralysis.Demam,
gangguan dalam regulasi suhu tubuh.
l.
Interaksi Sosial
Tanda : Afasia
motorik atau sensorik, bicara tanpa arti, bicara berulang-ulang, disartria,
anomia.
m.
Pemeriksaan Diagnostik
1)
Scan CT tanpa/dengan
kontras : Mengidentifikasi adanya SOL, hemoragic, menentukan ukuran
ventrikuler, pergeseran jaringan otak. Catatan pemeriksaan berulang mungkin
diperlukan karena iskemia/infark mungkin tidak terdeteksi dalam 24 – 72 jam
pasca trauma.
2)
MRI : Sama dengan scan CT tanpa/dengan menggunakan
kontras.
3)
Angiografi cerebral :
Menunjukan kelainan sirkulasi cerebral, seperti pergeseran jaringan otak akibat
edema, perdarahan dan trauma.
4)
EEG : Untuk
memperlihatkan keberadaan atau berkembangnya gelombang patologis.
5)
Sinar X : Mendeteksi
adanya perubahan struktur tulang (fraktur), pergeseran struktur dari garis
tengah (karena perdarahan, edema) dan adanya fragmen tulang.
6)
BAER (Brain Auditori
Evoked Respons) : Menentukan fungsi korteks dan batang otak.
7)
PET (Positron Emission
Tomografi) : Menunjukan perubahan aktivitas metabolisme dalam otak.
8)
Pungsi Lumbal, CSS :
Dapat menduga kemungkinan adanya perdarahan subarachnoid.
9)
GDA (Gas Darah Arteri)
: Mengetahuai adanya masalah ventilasi atau oksigenasi yang dapat meningkatkan
TIK..
2.
Diagnosa
Keperawatan dan Intervensi
a.
Perubahan perfusi
jaringan cerebral berhubungan dengan penghentian aliran darah oleh SOL
(hemoragi dan hematom), edema cerebral, penurunan TD/hipoksia
b.
Perubahan persepsi
sensori berhubungan dengan perubahan resepsi sensori, transmisi dan/atau
integrasi (trauma atau defisit neureologis)
c.
Risiko pola
napas tidak efektif berhubungan dengan kerusakan neurovaskuler, obstruksi
trakeobronchial.
d.
Risiko tinggi perubahan
nutrisi kurang dari kebutuhan berhubungan dengan perubahan kemampuan untuk
mencerna nutrien (penurunan tingkat kesadaran), kelemahan otot yang diperlukan
untuk mengunyah dan menelan, status hipermetabolik
3.
Intervensi
Keperawatan
1. Perubahan
perfusi jaringan cerebral berhubungan dengan penghentian aliran darah oleh SOL
(hemoragi dan hematom), edema cerebral, penurunan TD/hipoksia ditandai dengan :Perubahan tingkat kesadaran, kehilangan
memori, perubahan respon motorik, sensorik, gelisah, perubahan tanda vital
Tujuan : Mempertahankan tingkat kesadaran biasa/perbaikan,
kognisi dan fungsi motorik/sesnsorik.
Kriteria : Tanda vital stabil dan
tak ada tanda-tanda peningkatan TIK.
Intervensi :
a. Tentukan
faktor-faktor yang berhubungan dengan keadaan tertentu atau yang menyebabkan
koma/penurunan perfusi jaringan otak dan potensial peningkatan TIK.
R/ : Menentukkan pilihan intervensi, penurunan
tanda gejala neurologis atau kegagalan dalam pemulihannya setelah serangan awal
mungkin menunjukan bahwa pasien itu perlu dipindahkan ke perawatan intensif
untuk memantau TIK dan atau pembedahan.
b. Pantau/catat
status neurologis secara teratur dan bandingkan dengan nilai standar (misalnya
Skala Coma Glascow).
R/ : Mengkaji adanya kecenderungan pada tingkat kesadaran dan potensial
peningkatan TIK dan bermanfaat dalam
menentukan lokasi, perluasan dan perkembangan kerusakan SSP
c.
Pantau TTV
R/ : Normalnya, autoregulasi
mempertahankan aliran darah otak yang konstan pada saat ada fluktasi tekanan darah sistemik.
Kehilangan autoregulasi dapat mengikuti kerusakan vaskularisasi cerebral lokal
atau menyebar. Peningkatan tekanan darah sistemik yang diikuti oleh penurunan
tekanan darah diastole merupakan tanda terjadinya peningkatan TIK, jika diikuti
oleh penurunan tingkat kesadaran. Hipovolemia/hipertensi dapat juga mengakibatkan
kerusakan/iskemia cerebral.
d. Evaluasi keadaan
pupil, catat ukuran, ketajaman, kesamaan antara kiri dan kanan dan reaksinya
terhadap cahaya.
R/ : Reaksi pupil diatur oleh saraf cranial
okulomotor (N.III) dan berguna untuk menentukan apakah batang otak masih baik.
Ukuran/kesamaan ditentukan oleh keseimbangan antara persarafan simpatis dan
parasimpatis. Respon terhadap cahaya mencerminkan fungsi yang terkoordinasi
dari saraf cranial optikus dan okulomtorius.
e. Kaji perubahan
pada penglihatan, seperti adanya penglihatan yang kabur, ganda, lapang pandang
menyempit dan kedalaman persepsi.
R/ : Gangguan penglihatan, yang dapat diakibatkan
oleh kerusakan mikroskopik pada otak, mempunyai konsekwensi terhadap keamanan
dan juga akan mempengaruhi pilihan intervensi.
f. Kaji
letak/gerakan mata, catat apakah pada
posisi tengah atau ada deviasi pada satu sisi atau ke bawah. Catat pula
hilangnya refleks dolls eye.
R/ : Posisi dan gerakan mata membantu menemukan
lokasi area otak yang terlibat. Tanda awal dari peningkatan TIK adalah
kegagalan dalam abduksi pada mata, mengindikasikan penekanan/trauma pada saraf
cranial V. Hilangnya dolls eye mengindikasikan adanya penurunan pada fungsi
batang otak dan prognosisnya jelek.
g. Catat ada
tidaknya refleks-refleks tertentu seperti refleks menelan, batuk, babinski dan sebagainya.
R/ : Penurunan
refleks menandakan adanya kerusakan pada tingkat otak tengah atau batang otak
dan sangat berpengaruh langsung terhadap pasien. Refleks Babinski positif
mengindikasikan adanya trauma sepanjang jalur piramida pada otak
h. Pertahankan
kepala/leher pada posisi tengah/posisi netral, sokong dengan gulungan handuk
kecil. Hindari pemakaian bantal besar pada kepala.
R/ : Kepala
yang miring pada satu sisi akan menekan
vena jugularis dan menghambat aliran darah vena yang selanjutnya akan
meningkatkan TIK.
i.
Kolaborasi :
R/ : Meningkatkan
aliran balik vena dari kepala sehingga akan mengurangi kongesti dan edema atau
risiko terjadinya peningkatan TIK.
2. Nyeri berhubungan dengan trauma
kepala ( peningkatan tekanan intra kranial ).
Tujuan: Anak akan merasa nyaman yang ditandai dengan anak tidak
mengeluh nyeri, dan tanda-tanda vital dalam batas normal
Intervensi:
a. Kaji keluhan nyeri dengan
menggunakan skala nyeri, catat lokasi nyeri, lamanya, serangannya, peningkatan
nadi, nafas cepat atau lambat, berkeringat dingin.
R : mengidentifikasi karakteristik nyeri merupakan factor
yang penting untuk menentuksn terapi yang cocok
b. Berikan sentuhan terapeutik, lakukan
distraksi dan relaksasi
R : untuk mengerangi nyeri
c. Mengatur posisi sesuai kebutuhan
untuk mengurangi nyeri
R : untuk menurunkan adanya nyeri
d. Ciptakan lingkungan yang nyaman
termasuk tempat tidur
R : untuk memberikan rasa nyaman kepada pasien sehingga
nyerinya bias berkurang
e. Pemberian obat analgetik sesuai
dengan program
R : untuk membantu mengurangi nyeri
3. Perubahan
persepsi sensori berhubungan dengan perubahan resepsi sensori, transmisi
dan/atau integrasi (trauma atau defisit neureologis), ditandai dengan
:Disorientasi waktu, tempat dan orang, perubahan dalam respons terhadap
rangsang, inkoordinasi motorik, perubahan dalam postur, ketidakmampuan untuk
memberitahu posisi bagian tubuh (propiosepsi,), perubahan pola
komunikasi, distorsi audiotorius dan visual, konsentrasi buruk, perubahan
proses berpikir/berpikir kacau.
Tujuan : Melakukan kembali/mempertahankan tingkat
kesadaran biasanya dan fungsi persepsi.
Kriteria : Mengakui perubahan dalam kemampuan dan
adanya keterlambatan residu.
Mendemonstrasikan perubahan perilaku/gaya hidup untuk mengkompensasi/defisit
hasil.
Intervensi :
a. Evaluasi/pantau
secara teratur perubahan orientasi, kemampuan berbicara, alam perasaan/afektif,
sensorik dan proses pikir
R/ : Fungsi
cerebral bagian atas biasanya terlebih dahulu oleh adanya gangguan sirkulasi,
oksigenasi. Kerusakan dapat terjadi saat trauma awal atau kadang-kadang berkembang
setelahnya akibat dari pembengkakan atau perdarahan. Perubahan motorik,
persepsi, kognitif dan kepribadian mungkin berkembang dan menetap dengan
perbaikan respons secara perlahan-lahan atau tetap bertahan secara terus
menerus pada derajat tertentu.
b. Kaji
kesadaran sensorik seperti respon sentuhan, panas/dingin, benda tajam/tumpul
dan kesadaran terhadap gerakan dan letak tubuh. Perhatikan adanya masalah
penglihatan atau sensasi yang lain.
R/ : Informasi
penting untuk keamanan pasien. Semua sistem sensorik dapat terpengaruh dengan
adanya perubahan yang melibatkan peningkatan atau penurunan sensitivitas atau
kehilangan sensasi/kemampuan untuk
menerima dan berespons secara sesuai pada suatu stimuli.
c.Hilangkan suara
bising/stimuli yang berlebihan sesuai kebutuhan
R/ :Menurunkan ansietas, respon emosi yang berlebihan/bingung
yang berhubungan dengan sensorik yang berlebihan.
d. Buat jadwal
istirahat yang adekuat/periode tidur tanpa adanya gangguan.
R/ : Mengurangi
kelelahan, mencegah kejenuhan, memberikan kesempatan untuk tidur REM (ketidak
adanya tidur REM ini dapat meningkatkan gangguan persepsi sensorik).
e. Gunakan penerangan siang atau
malam hari.
R/ : Memberikan
perasaan normal tentang pola perubahan waktu dan pola tidur/bangun.
f. Kolaborasi :
R/ : Pendekatan
antar disiplin dapat menciptakan rencana penatalaksanaan terintegrasi yang
didasarkan atas kombinasi kemampuan/ketidakmampuan secara individu yang unik
dengan berfokus pada peningkatan
evaluasi dan fungsi fisik dan keterampilan perceptual.
4. Risiko pola napas tidak efektif berhubungan dengan kerusakan
neurovaskuler, obstruksi trakeobronchial.
Tujuan :Mempertahankan pola pernapasan
normal/efektif, bebas sianosis dengan GDA dalam batas normal pasien.
Intervensi :
a. Pantau
frekwensi, irama, kedalaman pernapasan. Catat ketidakteraturan pernapasan.
R/ : Perubahan
dapat menandakan awitan komplikasi pulmonal (umumnya mengikuti cedera otak)
atau menandakan lokasi /luasnya keterlibatan otak. Pernapasan lambat, periode
apnea dapat menandakan perlunya ventilasi mekanis.
b. Angkat
kepala tempat tidur sesuai aturannya, posisi miring sesuai indikasi.
R/ : Untuk
memudahkan ekspansi paru/ventilasi paru dan menurunkan kemungkinan lidah jatuh
yang menyumbat jalan napas.
c. Anjurkan
pasien untuk melakukan napas dalam yang efektif jika pasien sadar.
R/ : Mencegah/menurunkan
atelektasis.
d.
Lakukan penghisapan dengan ekstra hati-hati, jangan lebih dari 10-15 detik.
Catat karakter, warna dan kekeruhan dari sekret.
R/ : Penghisapan
biasanya dibutuhkan jika pasien koma atau dalam keadaan imobilisasi dan tidak
dapat membersihkan jalan napasnya sendiri. Penghisapan pada trachea yang lebih
dalam harus dilakukan dengan ekstra hati-hati, karena hal tersebut dapat
mengakibatkan hipoksia yang menimbulkan vasokonstriksi yang pada akhirnya akan
berpengaruh cukup besar terhadap perfusi cerebral.
e. Kolaborasi :
R/ : Menentukan
kecukupan pernapasan, keseimbangan asam basa dan kebutuhan akan terapi
5. Risiko
tinggi perubahan nutrisi kurang dari kebutuhan berhubungan dengan perubahan
kemampuan untuk mencerna nutrien (penurunan tingkat kesadaran), kelemahan otot
yang diperlukan untuk mengunyah dan menelan, status hipermetabolik.
Tujuan : Mendemonstrasikan kemajuan peningkatan
berat badan sesuai tujuan. Tidak mengalami tanda-tanda malnutrisi, dengan nilai
laboratorium dalam batas-batas normal
Intervensi :
a. Kaji
kemampuan pasien untuk mengunyah, menelan, batuk dan mengatasi sekresi.
R/ : Menentukan pemilihan terhadap
jenis makanan sehingga pasien terlindung dari aspirasi
b.
Auskultasi bising usus, catat adanya penurunan/hilangnya atau suara yang
hiperaktif.
R/ : Bising usus membantu dalam
menentukan respons untuk makan atau berkembangnya komplikasi seperti paralitik
ileus.
c. Timbang
berat badan sesuai indikasi.
R/ : Mengevaluasi keefektifan atau kebutuhan
mengubah pemberian nutrisi.
d. Jaga
keamanan saat memberikan makan pada pasien seperti tinggikan kepala tempat
tidur selama makan atau selama pemberian makan lewat NGT.
R/ : Menurunkan
risiko regurgitasi atau terjadinya aspirasi.
e.
Berikan makan dalam jumlah kecil dan dalam waktu yang sering dengan teratur.
R/ : Meningkatkan proses pencernaan
dan toleransi pasien terhadap nutrisi yang diberikan yang dapat meningkatkan
kerjasama pasien saat makan.
f. Tingkatkan
kenyamanan, lingkungan yang santai termasuk sosialisasi saat makan. Anjurkan
orang terdekat untuk membawa makanan yang disukai pasien.
R/ : Dapat meningkatkan pemasukan dan menormalkan
fungsi makan.
g.
Kolaborasi :
R/ : Merupakan
sumber yang efektif untuk mengidentifikasi kebutuhan kalori/nutrisi tergantung
pada usia, berat badan, ukuran tubuh dan keadaan penyakit sekarang.
Berikan oksigen tambahan sesuai
indikasi.
R/
: Menurunkan hipoksemia, yang mana
dapat meningkatkan vasodilatasi dan
volume darah cerebral yang meningkatkan TIK.
-
Berikan obat sesuai indikasi.
Diuretik
(manitol, furosemide)
R/
: Diuretik dapat digunakan pada fase
akut untuk menurunkan air dari sel otak, menurunkan edema otak dan TIK.
Steroid
(dexametason, metilprednisolon).
R/
: Menurunkan inflamasi, yang
selanjutnya menurunkan edema jaringan.
Antikonvulsan
(Fenitoin).
R/
: Untuk mengatasi dan mencegah
terjadinya aktivitas kejang.
Analgetik
(Kodein).
R/
: Untuk menghilangkan nyeri.
Sedatif
(Difenhidramin).
R/
: Untuk mengendalikan kegelisahan.
Antipiretik
( Asetaminofen).
R/
: Mengendalikan demam.
A. Manifestasi klinis berdasarkan
tingkatan cedera/trauma:
B. 1. Tingkat I
C. Bila dijumpai adanya riwayat
kehilangan kesadaran/pingsan yang sesaat setelah mengalami trauma dan kemudian
sadar. Pada waktu diperiksa dalam keadaan sadar penuh, orientasi baik dan tidak
ada deficit neurologis.
D.
E. 2. Tingkat II
F. Kesadaran menurun namun masih dapat
mengikuti perintah yang sederhana dan dijumpai adanya deficit neurologis.
G.
H. 3. Tingkat III
I. Kesadaran sangat menurun dan tidak
dapat mengikuti perintah walaupun yang sederhana sama sekali. Penderita masih
bisa bersuara, namun susunan kata dan orientasinya kacau, gaduh gelisah. Respon
motorik bervariasi dari keadaan yang mampu melokalisir rasa nyeri sampai tidak
ada respon sama sekali – desebrasi.
J. 4. Tingkat IV
K. Tidak ada fungsi neurologis sama
sekali.
DAFTAR
PUSTAKA
Brunner
and Suddarth. Medical Surgical Nursing. Sixth Edition. Sydney: J.B Lippincott
Compay, 1988.
Harsono,
Buku Ajar : Neurologi Klinis,Yogyakarta, Gajah Mada university press, 1996
Long
C, Barbara, Barbara C. Long, Medical Surgical Nursing, Bandung, Yayasan Ikatan
Alumni Pendidikan Keperawatan Pajajaran, 1996
Marilynn
E, Doengoes, 2000, Rencana Asuhan Keperawatan, Edisi 3, Jakarta, EGC, 2000
Smeltzer
C. Suzanne, Brunner & Suddarth, Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah,
Jakarta, EGC ,2002
Tuti
Pahria, dkk, Asuhan Keperawatan pada Pasien dengan Ganguan Sistem Persyarafan,
Jakarta, EGC, 1993