Selasa, 10 Mei 2016

LAPORAN PENDAHULUAN TRAUMA KAPITIS

LAPORAN PENDAHULUAN TRAUMA KAPITIS

A.    Konsep Medis
A.    Defenisi
Cedera kepala adalah kerusakan neurologis yang terjadi akibat adanya trauma pada jaringan otak yang terjadi secara langsung maupun efek sekunder dari trauma yang terjadi (Price, 1985).
Trauma kepala adalah suatu trauma yang mengenai daerah kulit kepala, tulang tengkorak atau otak yang terjadi akibat injury baik secara langsung maupun tidak langsung pada kepala. (Suriadi & Rita Yuliani, 2001).
Trauma kepala adalah suatu trauma yang mengenai daerah kulit kepala, tulang tengkorak atau otak yang terjadi akibat injury baik secara langsung maupun tidak langsung pada kepala. (Suriadi & Rita Yuliani, 2001).
Cedera kepala adalah suatu trauma yang mengenai daerah kulit kepala, tulang tengkorak atau otak yang terjadi akibat injury baik secara langsung maupun tidak langsung pada kepala. (Suriadi, 2003).

B.     Anatomi Fisiologi

a.    Anatomi

Tengkorak dibentuk oleh beberapa tulang. Masing-masing tulang kecuali mandibula disatukan pada sutura. Sutura dibentuk oleh selapis tipis jaringan fibrosa yang mengunci pinggiran tulang yang bergerigi. Sutura mengalami osifikasi setelah umur 35 tahun. Pada atap tengkorak, permukaan dalam dan luar dibentuk oleh tulang padat dengan lapisan spongiosa yang disebut diploie terletak diantaranya. Terdapat fariasi yang cukup besar pada ketebalan tulang tengkorak antar individu. Tengkorak paling tebal yang dilindungi oleh otot (Westmoreland,1994).

Jenis-jenis tengkorak  :

1)         Os frontale

2)         Os parientale dextra dan sinistra

3)         Os occipital

4)         Os temporal dextra dan sinistra

5)         Os ethmoidale

6)         Os sphenoidale

7)         Maxilla

8)         Mandibula

9)         Os zygomatikum dextra dan sinistra

10)     Os platinum dextra dan sinistra

11)     Os nasale dextra dan sinistra

12)     Os lacrimale dextra dan sinistra

13)     Vomer

14)     Concha dextra dan sinistra

b.      Fisiologi

Fungsi tengkorak  (Westmoreland,1994) adalah:

1)   Melindungi otak dan indera penglihatan dan pendengaran

2)   Sebagai tempat melekatnya otot yang bekerja pada kepala

3)   Sebagai tempat penyangga gigi


C.    Etiologi
Trauma kepala/cedera kepala dapat disebabkan oleh beberapa peristiwa, diantaranya:
1.    Kecelakaan lalu lintas.
2.    Benturan pada kepala.
3.    Jatuh dari ketinggian dengan dua kaki.
4.    Menyelam di tempat yang dangkal.
5.    Olahraga yang keras.
6.    Anak dengan ketergantungan.
Cedera  pada  trauma  dapat  terjadi  akibat  tenaga  dari   luar  (Arif Musttaqin, 2008) berupa:
1.      Benturan/jatuh karena kecelakaan
2.      Kompresi/penetrasi baik oleh benda tajam, benda tumpul, peluru dan ledakan panas.
Akibat cedera ini berupa memar, luka jaringan lunak, cedera muskuloskeletal dan kerusakan organ
D.      Patofisiologi
Mekanisme cedera memegang peranan penting dalam menentukan berat-ringannya konsekuensi patofisiologi dari trauma kepala. Cedera percepatan (aselerasi) terjadi jika benda yang sedang bergerak membentur kepala yang diam, seperti trauma akibat benda tumpul atau karena terkena lemparan benda tumpul. Cedera perlambatan (deselerasi) adalah bila kepala membentur objek yang secara relative tidak bergerak, seperti badan mobil atau tanah. Kedua kekuatan ini mungkin terjadi secara bersamaan bila terdapat gerakan kepala tiba-tiba tanpa kontak langsung, seperti yang terjadi bila posisi badan diubah secara kasar dan cepat. Kekuatan ini bisa dikombinasi dengan pengubahan posisi rotasi pada kepala, yang menyebabkan trauma regangan dan robekan pada substansi alba dan batang otak (Prince & Wilson, 1995).
Cedera primer, yang terjadi pada waktu benturan mungkin karena memar pada permukaan otak, leserasi substansia alba, cedera robekan atau hemoragi. Sebagai akibat, cedera sekunder dapat terjadi sebagai kemampuan auto regulasi serebral (peningkatan volume darah) pada area peningkatan permeabilitas kapiler serta vasodilatasi arterial, semua menimbulkan peningkatan intracranial (TIK). Beberapa kondisi yang dapat menyebabkan cedera otak sekunder meliputi hipoksia, hiperkarbia dan hipotensi (Prince & Wilson, 1995).
E.     Manifestasi Klinis
1. Hilangnya kesadaran kurang dari 30 menit atau lebih
2. Kebungungan
3. Iritabel
4. Pucat
5. Mual dan muntah
6. Pusing kepala
7. Terdapat hematoma
8. Kecemasan
9. Sukar untuk dibangunkan
10. Bila fraktur, mungkin adanya cairan serebrospinal yang keluar dari hidung (rhinorrohea) dan telinga (otorrhea) bila fraktur tulang temporal.
F.     Mekanisme Cedera
Mekanisme cedera / trauma kepala, meliputi :
1.       Akselerasi
Jika benda bergerak membentur kepala yang diam, misalnya pada orang yang diam kemudian dipukul atau dilempar.
2.       Deselerasi
Jika kepala bergerak membentur kepala yang diam, misalnya pada kepala yang terbentur.
3.      Deformitas
Perubahan atau kerusakan pada bagian tubuh yang terjadi akibat trauma, misalnya adanya fraktur kepala, kompresi, ketegangan atau pemotongan pada jaringan otak.
G.    Klasifikasi cedera
Klasifikasi Cedera Kepala (Arif Muttaqin, 2008)
a.    Cedera kepala primer
Cedera kepala primer mencakup : fraktur tulang, cedera fokal  dan cedera otak difusa, yang masing-masing mempunyai mekanisme etilogis dan patofisiologi yang unik.
                                       1)      Fraktur tulang kepala dapat terjadi dengan atau tanpa kerusakan otak, namun biasanya ini bukan merupakan penyebab utama timbulnya kacacatan neurologis.
                                       2)      Cedera fokal merupakan akibat kerusakan setempat yang biasanya dijumpai pada kira-kira separuh dari kasus cedera kepala berat. Kelainan ini mencakup kontusi kortikal, hematom subdural, epidural dan intraserebral yang secara makroskopis tampak dengan mata telanjang sebagai suatu kerusakan yang berbatas tegas.
                                       3)      Cedera otak dufusa pada dasarnya berbeda dengan cedera vokal, dimana keadaan ini berkaitan dengan disfungsi otak yang luas serta biasanya tidak tampak secara mikroskopis. Mengingat bahwa kerusakan yang terjadi kebanyakan melibatkan akson-akson, maka cedera ini juga dikenal dengan cedera aksional difusa.
b.      Kerusakan otak sekunder
Cedera kepala berat seringkali menampilkan gejala  abnormalitas/gangguan sistemik akibat hipoksia dan hipotensi, dimana keadaan-keadaan ini merupakan penyebab yang sering dari kerusakan otak sekunder. Hipoksia dan hipotensi semata akan menyebabkan perubahan-perubahan minimal, yang kemudian bersamaan dengan efek cedera mekanis memperberat gangguan-gangguan metabolisme serebral.
Hipoksia dapat merupakan akibat dari kejadian aspirasi, obstyruksi jalan nafas atau cedera toraks yang terjadi bersamaan dengan trauma kepala, namun sering juga terjadi hipoksia pasca cedera kepala dengan ventilasi normal dan tanpa adanya keadaan-keadaan tersebut di atas.
Hipotensi pada penderita cedera kepala biasanya hanya sementara yaitu sesaat setelah konkusi atau merupakan tahap akhir dari kegagalan meduler yang berkaitan dengan herniasi cerebral.
c.       Edema cerebral
Tipe yang terpenting pada kejadian cedera kepala adalah edema vasogenik dan edema iskemik. Edema vasogenik disebabkan oleh adanya peningkatan permeabilitas kapiler akibat sawar darah otak sehingga terjadi penimbunan cairan plasma ekstraseluler terutama di massa putih serebral. Edema iskemik merupakan penimbunan cairan intraseluler sehingga sel tersebut tidak dapat mempertahankan keseimbangan cairannya.
Edema cerebral yang mencapai maksimal pada hari ke tiga pasca cedera, dapat menimbulkan suatu efek massa yang bermakna. Di samping itu edema ini sendiri dapat juga terjadi, tanpa adanya tampilan suatu konstusi atau pendarahan intraserebral. Keadaan ini dapat terjadi akibat gangguan sekunder dari hipotensi sistemik dan hipoksia, cedera arterial atau hipertensi intracranial. Gangguan aliran darah cerebral trauma yang mengakibatkan anoksia jaringan juga tampil sebagai daerah “swelling” hipodens difus.
d.      Pergeseran otak(Brain Shift)-herniasi batang otak
Adanya satu massa yang berkembang membesar (hemotom, abses atau pembengkakan otak) di semua lokasi dalam kavitas intracranial (epidural/ubdural/intracerebral supra/infratentorial) biasanya akan menyebab pergeseran dan distori otak, bersamaan dengan peningkatan intracranial akan mengarah terjadinya herniasi otak.
H.    Jenis-jenis trauma capitis
Menurut Bornner dan suddarth, 2002 jenis-jenis trauma capitis yaitu :
a.    Fraktur
Fraktur kalvaria atau atap tengkorak apabila tidak terbuka tidak ada hubungan dengan dunia luar tidak memerlukan perhatian segera yang lebih penting adalah intracranialnya. Fraktur basis cranium dapat berbahaya terutama karena perdarahan yang ditimbulkan sehingga menimbulkan ancaman pada jalan nafas.
b.    Comosio cerebri (gegar otak)
Kehilangan kesadaran sebentar dibawah 15 menit dan tidak berbahaya,
penderita tetap dibawa ke rumah sakit karena kemungkinan cedera yang lain.
c.       Kontusio cerebri
Kehilangan kesadaran lebih lama, dalam kepustakaan saat ini dikenal sebagai DAI (Difus Absonal Injury) yang mempunyai prognosis yang lebih buruk.
d.      Perdarahan intracranial
Perdarahan intracranial dapat berupa perdarahan epidural, perdarahan subdural atau perdarahan intracranial. Perdarahan epidural dapat berbahaya karena perdarahan berlanjut atau menyebabkan peninggian tekanan intracranial yang semakin berat.
I.       Klasifikasi klinis cedera kepala
Cedera kepala pada praktek klinis sehari-hari dikelompokkan atas empat gradasi sehubungan dengan kepentingan seleksi perawatan penderita, pemantauan diagnostic-klinik penanganan dan prognosisnya (Brunner & Suddarth, 2001) yaitu:
a.    Tingkat I : Bila dijumpai adanya riwayat kehilangan  kesadaran/pingsan yang sesaat setelah mengalami trauma, kemudian sadar kembali. Pada waktu diperiksa dalam keadaan sadar penuh, orientasi baik dan tidak ada defisit neurologist.
b.    Tingkat II            :Kesadaran menurun namun masih dapat mengikuti perintah-perintah yang sederhana, dan dijumpai adanya defisit neurologis vokal.
c.    Tingkat III           : Kesadaran yang sangat menurun dan tidak bisa mengikuti perintah (walaupun sederhana) sama sekali. Penderita masih bisa bersuara namun susunan kata-kata dan orientasinya kacau, gaduh serta gelisah. Respon motorik bervariasi dari keadaan yang masih mampu melokalisir rasa sakit sampai tidak ada respon sama sekali. Postur tubuh dapat menampilkan posisi dekortikasi-deserebrasi.
d.   Tingkat IV           :  Tidak ada fungsi neurologis sama sekali.
J.      Kategori Penentuan Keparahan Cedera Berdasarkan Nilai Glasgow Comma Scale (GCS) Menurut At a glance, 2006.
Penentuan
Keparahan
Deskripsi
Frekuensi
Minor







Sedang






Berat






-     GCS 13 – 15
-    Dapat terjadi kehilangan kesadaran atau amnesia tetapi kurang dari 30 menit
-    Tidak ada fraktur tengkorak, tidak ada konstusio cerebral, hematoma, abrasi, pusing dan nyeri kepala
-     GCS 9 – 12
-    Kehilangan kesadaran atau amnesia lebih dari 30 menit tapi kurang dari 24 jam
-    Dapat mengalami faktur tengkorak
-    Muntah
-    GCS 3 – 8

-    Kehilangan kesadaran atau amnesia lebih dari 24 jam
-    Juga meliputi konstusio cerebral, laserasi atau hematona intracranial
-    Tanda neurologis vocal
-    Teraba fraktur
55 %







24 %






21 %

K.    Komplikasi

Komplikasi yang terjadi pada cedera kepala menurut Arif Muttaqin, 2008.

a.       Hemorhagic

b.      Infeksi

c.       Edema

d.      Herniasi

L.     Penanganan Cedera Kepala
Penanganan kasus-kasus cedera kepala di unit gawat darurat/              emergensi didasarkan atas patokan pemantauan dan penanganan terhadap “6 B”(Arif Muttaqin 2008),yakni:
1)   Breathing
Perlu diperhatikan mengenai frekuensi dan jenis pernafasan penderita. Adanya obstruksi jalan nafas perlu segera dibebaskan dengan tindakan-tindakan : suction, inkubasi, trakheostomi. Oksigenasi yang cukup atau hiperventilasi bila perlu, merupakan tindakan yang berperan penting sehubungan dengan edema cerebri.
2)   Blood
Mencakup pengukuran tekanan darah dan pemeriksaan laboratorium darah (Hb, leukosit). Peningkatan tekanan darah dan denyut nadi yang menurun mencirikan adanya suatu peninggian tekanan intracranial, sebaliknya tekanan darah yang menurun dan makin cepatnya denyut nadi menandakan adanya syok hipovolemik akibat perdarahan (yang kebanyakan bukan dari kepala/otak) dan memerlukan tindakan transfusi.
3)   Brain
Penilaian keadaan otak ditekankan terhadap respon-respon mata, motorik dan verbal (GCS). Perubahan respon ini merupakan implikasi perbaikan/perburukan kiranya perlu pemeriksaan lebih mendalam mengenai keadaan pupil (ukuran, bentuk dan reaksi terhadap cahaya) serta gerakan-gerakan bola mata.
4)   Bladder
Kandung kemih perlu selalu dikosongkan (pemasangan kateter) mengingat bahwa kandung kemih yang penuh merupakan suatu rangsangan untuk mengedan sehingga tekanan intracranial cenderung lebih meningkat.
5)   Bowel
Seperti halnya di atas, bahwa yang penuh juga cenderung dapat meninggikan TIK.
6)   Bone
Mencegah terjadinya dekubitus, kontraktur sendi dan sekunder infeksi
B.     Konsep Asuhan Keperawatan Trauma Capitis
1.       Pengkajian
Data dasar tergantung pada tipe, lokasi dan keparahan cedera dan mungkin dipersulit oleh cedera tambahan pada organ-organ vital (Marilynn, 1999 ).
a.           Aktivitas/Istirahat
Gejala : Merasa lemah, lelah, hilang keseimbangan
Tanda :Perubahan kesadaran, letargi, hemiparese quadreplegia, ataksia, cara berjalan tak tegap. Masalah dalam keseimbangan cedera (trauma) ortopedi, kehilangan tonus otot dan otot spastik.
b.          Sirkulasi
Gejala : Perubahan tekanan darah atau normal (hipertensi)
Tanda :Perubahan frekwensi jantung (bradikardia, takikardia yang       diselingi dengan bradikardia dan disritmia).
c.           Integritas Ego
Gejala : Perubahan tingkah laku atau kepribadian (tenang atau   dramatis).
Tanda : Cemas, mudah tersinggung, delirium, agitasi, bingung, depresi dan impulsif.
d.          Eliminas
Gejala : Inkontinentia kandungan kemih/usus atau mengalami gangguan fungsi.
e.            Makanan/Cairan
Gejala : Mual, muntah dan mengalami perubahan selera.
Tanda : Muntah (mungkin proyektil), gangguan menelan (batuk, air liur keluar dan disfagia).
f.           Neurosensori
Gejala :Kehilangan kesadaran sementara, amnesia seputar kejadian, vertigo, sinkope, tinitus, kehilangan pendengaran, tingling, baal pada ekstremitas. Perubahan dalam penglihatan seperti ketajamannya, diplopia, kehilangan sebagian lapang pandang, fotofobia, gangguan pengecapan dan juga penciuman.
Tanda : Perubahan kesadaran sampai koma. Perubahan status mental (orientasi, kewaspadaan, perhatian, konsentrasi, pemecahan masalah, pengaruh emosi/tingkah laku dan memori), Perubahan pupil (respon terhadap cahaya, simetri) deviasi pada mata, ketidakmampuan mengikuti perintah. Kehilangan penginderaan seperti pengecapan, penciuman dan pendengaran, wajah tidak simetri, genggaman lemah, tidak seimbang, refleks tendon dalam tidak ada atau lemah, apraksia, hemiparise, quedreplegia, postur (dekortikasi dan deserebrasi), kejang, sangat sensitif terhadap sentuhan dan gerakan, kehilangan sensasi sebagian tubuh.
g.          Nyeri/Kenyamanan
Gejala : Sakit kepala dengan intensitas dan lokasi yang berbeda, biasanya lama.
Tanda : Wajah menyeringai, respon menarik pada rangsangan nyeri yang hebat, gelisah, tidak bisa beristirahat, merintih.
h.          Pernapasan
Tanda : Perubahan pola napas (apnea yang diselingi oleh hiperventilasi). Napas berbunyi, stridor, tersedak, ronki, mengi positif (kemungkinan karena aspirasi).


i.            Keamanan
Gejala : Trauma baru/trauma karena kecelakaan.
Tanda : Fraktur/dislokasi.
j.             Gangguan penglihatan
Kulit laserasi, abrasi, perubahan warna, seperti “raccoon eye” tanda Batle di sekitar telinga (merupakan tanda adanya trauma), adanya aliran cairan  (drainase) dari telinga/hidung  (CSS).
k.          Gangguan kognitif.
Gangguan rentang gerak, tonus otot hilang, kekuatan secara umum mengalami paralysis.Demam, gangguan dalam regulasi suhu tubuh.
l.            Interaksi Sosial
Tanda : Afasia motorik atau sensorik, bicara tanpa arti, bicara berulang-ulang, disartria, anomia.
m.        Pemeriksaan Diagnostik
                                                   1)      Scan CT tanpa/dengan kontras : Mengidentifikasi adanya SOL, hemoragic, menentukan ukuran ventrikuler, pergeseran jaringan otak. Catatan pemeriksaan berulang mungkin diperlukan karena iskemia/infark mungkin tidak terdeteksi dalam 24 – 72 jam pasca trauma.
                                                   2)      MRI :  Sama dengan scan CT tanpa/dengan menggunakan kontras.
                                                   3)      Angiografi cerebral : Menunjukan kelainan sirkulasi cerebral, seperti pergeseran jaringan otak akibat edema, perdarahan dan trauma.
                                                   4)      EEG : Untuk memperlihatkan keberadaan atau berkembangnya gelombang patologis.
                                                   5)      Sinar X : Mendeteksi adanya perubahan struktur tulang (fraktur), pergeseran struktur dari garis tengah (karena perdarahan, edema) dan adanya fragmen tulang.
                                                   6)      BAER (Brain Auditori Evoked Respons) : Menentukan fungsi korteks dan batang otak.
                                                   7)      PET (Positron Emission Tomografi) : Menunjukan perubahan aktivitas metabolisme dalam otak.
                                                   8)      Pungsi Lumbal, CSS : Dapat menduga kemungkinan adanya perdarahan subarachnoid.
                                                   9)      GDA (Gas Darah Arteri) : Mengetahuai adanya masalah ventilasi atau oksigenasi yang dapat meningkatkan TIK..
2.       Diagnosa Keperawatan dan Intervensi
a.      Perubahan perfusi jaringan cerebral berhubungan dengan penghentian aliran darah oleh SOL (hemoragi dan hematom), edema cerebral, penurunan TD/hipoksia
b.      Perubahan persepsi sensori berhubungan dengan perubahan resepsi sensori, transmisi dan/atau integrasi (trauma atau defisit neureologis)
c.       Risiko pola napas tidak efektif berhubungan dengan kerusakan neurovaskuler, obstruksi trakeobronchial.
d.      Risiko tinggi perubahan nutrisi kurang dari kebutuhan berhubungan dengan perubahan kemampuan untuk mencerna nutrien (penurunan tingkat kesadaran), kelemahan otot yang diperlukan untuk mengunyah dan menelan, status hipermetabolik
3.       Intervensi Keperawatan
1.      Perubahan perfusi jaringan cerebral berhubungan dengan penghentian aliran darah oleh SOL (hemoragi dan hematom), edema cerebral, penurunan TD/hipoksia  ditandai dengan  :Perubahan tingkat kesadaran, kehilangan memori, perubahan respon motorik, sensorik, gelisah, perubahan tanda vital
Tujuan      :  Mempertahankan tingkat kesadaran biasa/perbaikan, kognisi dan fungsi motorik/sesnsorik.
Kriteria    :   Tanda vital stabil dan tak ada tanda-tanda peningkatan TIK.
Intervensi :
a.   Tentukan faktor-faktor yang berhubungan dengan keadaan tertentu atau yang menyebabkan koma/penurunan perfusi jaringan otak dan potensial peningkatan TIK.
R/ :  Menentukkan pilihan intervensi, penurunan tanda gejala neurologis atau kegagalan dalam pemulihannya setelah serangan awal mungkin menunjukan bahwa pasien itu perlu dipindahkan ke perawatan intensif untuk memantau TIK dan atau pembedahan.
b.     Pantau/catat status neurologis secara teratur dan bandingkan dengan nilai standar (misalnya Skala Coma Glascow).
R/ :  Mengkaji adanya kecenderungan pada tingkat kesadaran dan potensial peningkatan TIK dan bermanfaat dalam  menentukan lokasi, perluasan dan perkembangan kerusakan SSP
c.   Pantau TTV
R/ : Normalnya, autoregulasi mempertahankan aliran darah otak yang konstan pada saat  ada fluktasi tekanan darah sistemik. Kehilangan autoregulasi dapat mengikuti kerusakan vaskularisasi cerebral lokal atau menyebar. Peningkatan tekanan darah sistemik yang diikuti oleh penurunan tekanan darah diastole merupakan tanda terjadinya peningkatan TIK, jika diikuti oleh penurunan tingkat kesadaran. Hipovolemia/hipertensi dapat juga mengakibatkan kerusakan/iskemia cerebral.
d.   Evaluasi keadaan pupil, catat ukuran, ketajaman, kesamaan antara kiri dan kanan dan reaksinya terhadap cahaya.
R/ : Reaksi pupil diatur oleh saraf cranial okulomotor (N.III) dan berguna untuk menentukan apakah batang otak masih baik. Ukuran/kesamaan ditentukan oleh keseimbangan antara persarafan simpatis dan parasimpatis. Respon terhadap cahaya mencerminkan fungsi yang terkoordinasi dari saraf cranial optikus dan okulomtorius.
e.    Kaji perubahan pada penglihatan, seperti adanya penglihatan yang kabur, ganda, lapang pandang menyempit dan kedalaman persepsi.
R/ : Gangguan penglihatan, yang dapat diakibatkan oleh kerusakan mikroskopik pada otak, mempunyai konsekwensi terhadap keamanan dan juga akan mempengaruhi pilihan intervensi.
f.     Kaji letak/gerakan mata, catat apakah  pada posisi tengah atau ada deviasi pada satu sisi atau ke bawah. Catat pula hilangnya refleks  dolls  eye.
R/ : Posisi dan gerakan mata membantu menemukan lokasi area otak yang terlibat. Tanda awal dari peningkatan TIK adalah kegagalan dalam abduksi pada mata, mengindikasikan penekanan/trauma pada saraf cranial V. Hilangnya dolls eye mengindikasikan adanya penurunan pada fungsi batang otak dan prognosisnya jelek.
g.    Catat ada tidaknya refleks-refleks tertentu seperti refleks menelan, batuk,  babinski dan sebagainya.
R/ :   Penurunan refleks menandakan adanya kerusakan pada tingkat otak tengah atau batang otak dan sangat berpengaruh langsung terhadap pasien. Refleks Babinski positif mengindikasikan adanya trauma sepanjang jalur piramida pada otak
h.    Pertahankan kepala/leher pada posisi tengah/posisi netral, sokong dengan gulungan handuk kecil. Hindari pemakaian bantal besar pada kepala.
R/ :   Kepala yang miring pada satu sisi  akan menekan vena jugularis dan menghambat aliran darah vena yang selanjutnya akan meningkatkan TIK.
i.      Kolaborasi :
R/ :   Meningkatkan aliran balik vena dari kepala sehingga akan mengurangi kongesti dan edema atau risiko terjadinya peningkatan TIK.
2.      Nyeri berhubungan dengan trauma kepala ( peningkatan tekanan intra kranial ).
Tujuan: Anak akan merasa nyaman yang ditandai dengan anak tidak mengeluh nyeri, dan tanda-tanda vital dalam batas normal
Intervensi:
a.       Kaji keluhan nyeri dengan menggunakan skala nyeri, catat lokasi nyeri, lamanya, serangannya, peningkatan nadi, nafas cepat atau lambat, berkeringat dingin.
R : mengidentifikasi karakteristik nyeri merupakan factor yang penting untuk menentuksn terapi yang cocok
b.      Berikan sentuhan terapeutik, lakukan distraksi dan relaksasi
R : untuk mengerangi nyeri
c.       Mengatur posisi sesuai kebutuhan untuk mengurangi nyeri
R : untuk menurunkan adanya nyeri
d.      Ciptakan lingkungan yang nyaman termasuk tempat tidur
R : untuk memberikan rasa nyaman kepada pasien sehingga nyerinya bias berkurang
e.       Pemberian obat analgetik sesuai dengan program
R : untuk membantu mengurangi nyeri
3.      Perubahan persepsi sensori berhubungan dengan perubahan resepsi sensori, transmisi dan/atau integrasi (trauma atau defisit neureologis), ditandai dengan :Disorientasi waktu, tempat dan orang, perubahan dalam respons terhadap rangsang, inkoordinasi motorik, perubahan dalam postur, ketidakmampuan untuk memberitahu posisi bagian tubuh (propiosepsi,), perubahan pola komunikasi, distorsi audiotorius dan visual, konsentrasi buruk, perubahan proses berpikir/berpikir kacau.
Tujuan      : Melakukan kembali/mempertahankan tingkat kesadaran biasanya dan fungsi persepsi.
Kriteria     : Mengakui perubahan dalam kemampuan dan adanya    keterlambatan residu. Mendemonstrasikan perubahan perilaku/gaya hidup untuk mengkompensasi/defisit hasil.
Intervensi :
a.    Evaluasi/pantau secara teratur perubahan orientasi, kemampuan berbicara, alam perasaan/afektif, sensorik dan proses pikir
R/ :  Fungsi cerebral bagian atas biasanya terlebih dahulu oleh adanya gangguan sirkulasi, oksigenasi. Kerusakan dapat terjadi saat trauma awal atau kadang-kadang berkembang setelahnya akibat dari pembengkakan atau perdarahan. Perubahan motorik, persepsi, kognitif dan kepribadian mungkin berkembang dan menetap dengan perbaikan respons secara perlahan-lahan atau tetap bertahan secara terus menerus pada derajat tertentu.
b.     Kaji kesadaran sensorik seperti respon sentuhan, panas/dingin, benda tajam/tumpul dan kesadaran terhadap gerakan dan letak tubuh. Perhatikan adanya masalah penglihatan atau sensasi yang lain.
R/ :  Informasi penting untuk keamanan pasien. Semua sistem sensorik dapat terpengaruh dengan adanya perubahan yang melibatkan peningkatan atau penurunan sensitivitas atau kehilangan  sensasi/kemampuan untuk menerima dan berespons secara sesuai pada suatu stimuli.
c.Hilangkan suara bising/stimuli yang berlebihan sesuai kebutuhan
R/ :Menurunkan ansietas, respon emosi yang berlebihan/bingung yang berhubungan dengan sensorik yang berlebihan.
d.   Buat jadwal istirahat yang adekuat/periode tidur tanpa adanya gangguan.
R/ :  Mengurangi kelelahan, mencegah kejenuhan, memberikan kesempatan untuk tidur REM (ketidak adanya tidur REM ini dapat meningkatkan gangguan persepsi sensorik).
e.   Gunakan penerangan siang atau malam hari.
R/ :  Memberikan perasaan normal tentang pola perubahan waktu dan     pola tidur/bangun.
f.   Kolaborasi :
R/ :  Pendekatan antar disiplin dapat menciptakan rencana penatalaksanaan terintegrasi yang didasarkan atas kombinasi kemampuan/ketidakmampuan secara individu yang unik dengan berfokus  pada peningkatan evaluasi dan fungsi fisik dan keterampilan perceptual.
4.      Risiko pola napas tidak efektif berhubungan dengan kerusakan neurovaskuler, obstruksi trakeobronchial.
Tujuan       :Mempertahankan pola pernapasan normal/efektif, bebas sianosis dengan GDA dalam batas normal pasien.
Intervensi :
a.   Pantau frekwensi, irama, kedalaman pernapasan. Catat ketidakteraturan pernapasan.
R/ :   Perubahan dapat menandakan awitan komplikasi pulmonal (umumnya mengikuti cedera otak) atau menandakan lokasi /luasnya keterlibatan otak. Pernapasan lambat, periode apnea dapat menandakan perlunya ventilasi mekanis.
b.    Angkat kepala tempat tidur sesuai aturannya, posisi miring sesuai indikasi.
R/ :   Untuk memudahkan ekspansi paru/ventilasi paru dan menurunkan kemungkinan lidah jatuh yang menyumbat jalan napas.
c.    Anjurkan pasien untuk melakukan napas dalam yang efektif jika pasien sadar.
R/ :   Mencegah/menurunkan atelektasis.
d.      Lakukan penghisapan dengan ekstra hati-hati, jangan lebih dari 10-15 detik. Catat karakter, warna dan kekeruhan dari sekret.
R/ :   Penghisapan biasanya dibutuhkan jika pasien koma atau dalam keadaan imobilisasi dan tidak dapat membersihkan jalan napasnya sendiri. Penghisapan pada trachea yang lebih dalam harus dilakukan dengan ekstra hati-hati, karena hal tersebut dapat mengakibatkan hipoksia yang menimbulkan vasokonstriksi yang pada akhirnya akan berpengaruh cukup besar terhadap perfusi cerebral.
e.   Kolaborasi :
R/ :   Menentukan kecukupan pernapasan, keseimbangan asam basa dan kebutuhan akan terapi
5.      Risiko tinggi perubahan nutrisi kurang dari kebutuhan berhubungan dengan perubahan kemampuan untuk mencerna nutrien (penurunan tingkat kesadaran), kelemahan otot yang diperlukan untuk mengunyah dan menelan, status hipermetabolik.
Tujuan      : Mendemonstrasikan kemajuan peningkatan berat badan sesuai tujuan. Tidak mengalami tanda-tanda malnutrisi, dengan nilai laboratorium dalam batas-batas normal
Intervensi :
a.   Kaji kemampuan pasien untuk mengunyah, menelan, batuk dan mengatasi sekresi.
R/ : Menentukan pemilihan terhadap jenis makanan sehingga pasien terlindung dari aspirasi
b.   Auskultasi bising usus, catat adanya penurunan/hilangnya atau suara yang hiperaktif.
R/ : Bising usus membantu dalam menentukan respons untuk makan atau berkembangnya komplikasi seperti paralitik ileus.
c.   Timbang berat badan sesuai indikasi.
R/ : Mengevaluasi keefektifan atau kebutuhan mengubah pemberian nutrisi.
d.    Jaga keamanan saat memberikan makan pada pasien seperti tinggikan kepala tempat tidur selama makan atau selama pemberian makan lewat NGT.
R/ :     Menurunkan risiko regurgitasi atau terjadinya aspirasi.
e.    Berikan makan dalam jumlah kecil dan dalam waktu yang sering dengan teratur.
R/ : Meningkatkan proses pencernaan dan toleransi pasien terhadap nutrisi yang diberikan yang dapat meningkatkan kerjasama pasien saat makan.
f.   Tingkatkan kenyamanan, lingkungan yang santai termasuk sosialisasi saat makan. Anjurkan orang terdekat untuk membawa makanan yang disukai pasien.
R/ : Dapat meningkatkan pemasukan dan menormalkan fungsi makan.
g.   Kolaborasi :
R/ :     Merupakan sumber yang efektif untuk mengidentifikasi kebutuhan kalori/nutrisi tergantung pada usia, berat badan, ukuran tubuh dan keadaan penyakit sekarang.





Berikan oksigen tambahan sesuai indikasi.
R/ :    Menurunkan hipoksemia, yang mana dapat meningkatkan  vasodilatasi dan volume darah cerebral yang meningkatkan TIK.
-       Berikan obat sesuai indikasi.
Diuretik (manitol, furosemide)
R/ :    Diuretik dapat digunakan pada fase akut untuk menurunkan air dari sel otak, menurunkan edema otak dan TIK.
Steroid (dexametason, metilprednisolon).
R/ :    Menurunkan inflamasi, yang selanjutnya menurunkan edema jaringan.
Antikonvulsan (Fenitoin).
R/ :    Untuk mengatasi dan mencegah terjadinya aktivitas kejang.
Analgetik (Kodein).
R/ :    Untuk menghilangkan nyeri.
Sedatif (Difenhidramin).
R/ :    Untuk mengendalikan kegelisahan.
Antipiretik ( Asetaminofen).
R/ :    Mengendalikan demam.
A.    Manifestasi klinis berdasarkan tingkatan cedera/trauma:
B.     1.      Tingkat I
C.    Bila dijumpai adanya riwayat kehilangan kesadaran/pingsan yang sesaat setelah mengalami trauma dan kemudian sadar. Pada waktu diperiksa dalam keadaan sadar penuh, orientasi baik dan tidak ada deficit neurologis.
D.     
E.     2.      Tingkat II
F.     Kesadaran menurun namun masih dapat mengikuti perintah yang sederhana dan dijumpai adanya deficit neurologis.
G.     
H.    3.      Tingkat III
I.       Kesadaran sangat menurun dan tidak dapat mengikuti perintah walaupun yang sederhana sama sekali. Penderita masih bisa bersuara, namun susunan kata dan orientasinya kacau, gaduh gelisah. Respon motorik bervariasi dari keadaan yang mampu melokalisir rasa nyeri sampai tidak ada respon sama sekali – desebrasi.
J.      4.      Tingkat IV
K.    Tidak ada fungsi neurologis sama sekali.

DAFTAR PUSTAKA

Brunner and Suddarth. Medical Surgical Nursing. Sixth Edition. Sydney: J.B Lippincott Compay, 1988.
Harsono, Buku Ajar : Neurologi Klinis,Yogyakarta, Gajah Mada university press, 1996
Long C, Barbara, Barbara C. Long, Medical Surgical Nursing, Bandung, Yayasan Ikatan Alumni Pendidikan Keperawatan Pajajaran, 1996
Marilynn E, Doengoes, 2000, Rencana Asuhan Keperawatan, Edisi 3, Jakarta, EGC, 2000
Smeltzer C. Suzanne, Brunner & Suddarth, Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah, Jakarta, EGC ,2002
Tuti Pahria, dkk, Asuhan Keperawatan pada Pasien dengan Ganguan Sistem Persyarafan, Jakarta, EGC, 1993



















IMPLEMENTASI KEPERAWATAN

NO
DX
HARI/TGL
IMPLEMENTASI
EVALUASI
1
1
Selasa, 28-01-14
a.       mengkaji keluhan nyeri dengan menggunakan skala nyeri, catat lokasi nyeri, lamanya, serangannya, peningkatan nadi, nafas cepat atau lambat, berkeringat dingin
hasil :
b.      memberikan sentuhan terapeutik, lakukan distraksi dan relaksasi
Hasil :
c.       mengatur posisi sesuai kebutuhan untuk mengurangi nyeri
Hasil :
d.      menciptakan lingkungan yang nyaman termasuk tempat tidur
Hasil :
e.       Penatalaksanaan pemberian obat analgetik sesuai dengan program
Hasil :

2
2

a.       mengevaluasi/pantau secara teratur perubahan orientasi, kemampuan berbicara, alam perasaan/afektif, sensorik dan proses piker
hasil

b.      mengkaji kesadaran sensorik seperti respon sentuhan, panas/dingin, benda tajam/tumpul dan kesadaran terhadap gerakan dan letak tubuh. Perhatikan adanya masalah penglihatan atau sensasi yang lain.
Hasil

c.       menghilangkan suara bising/stimuli yang berlebihan sesuai kebutuhan
hasil

d.      membuat jadwal istirahat yang adekuat/periode tidur tanpa adanya gangguan
Hasil

e.       menggunakan penerangan siang atau malam hari
Hasil

f.       Penatalaksanaan pemebrian obat


3
3

a.       Pantau ku pasien dan observasi ttv
Hasil


b.      Mengkajian kecemasan klien
Hasil

c.       Mengkaji factor penyebab kecemasan klien
Hasil :

d.      mengajarkan tehnik relaksasi nafas dalam
Hasil

e.       menjelaskan proses penyakit
hasil

f.       menjelaskan program pengobatan
hasil

g.      membantu pasien untuk mengaktifkan support system
hasil : 








































>  Indikasi
Gejala-gejala involusi yang berhubungan dengan usia lanjut seperti kemunduran daya pikir, astenia, gangguan adaptasi, reaksi psikomotorik yang terganggu.

> Kontra Indikasi
Hipersensitif terhadap piracetam dan komponen obat ini.

> Efek Samping
Rasa gugup, agitasi, iritabilitas, rasa lelah, ganguan tidur, mual, muntah, diare, gastralgia, pusing, sakit kepala, tremor, peningkatan libido, kegelisahan ringan.

> Lama Pengobatan:
Pada beberapa kasus akut, efek piracetam segera tampak, sedangkan pada kasus lainnya perbaikan biasanya terjadi pada minggu ketiga. Untuk mempercepat perbaikan, maka sebaiknya pengobatan dilanjutkan.

> Cara Penyajian
Dikonsumsi bersamaan dengan makanan

> Cara penyimpanan : Simpan ditempat yang sejuk dan kering


>Manfaat
Piracetam dianggap sebagai nootropic farmasi atau "obat pintar," yang telah berhubungan dengan potensi manfaat segudang. Nama kimia dari piracetam adalah 2-oxo-pyrrolidone yang merupakan anggota dari keluarga Racetam. Racetam bekerja dengan merangsang reseptor glutamine yang dapat meningkatkan fungsi memori.

Piracetam diperkirakan dapat memberikan manfaat melindungi fungsi kognitif pada pasien yang menjalani CABG. Mekanisme terjadinya gangguan kognitif pada pasien-pasien yang menjalani CABG tidak diketahui dengan pasti, namun diperkirakan bersifat multifaktoral. Mikroemboli, lesi otak iskemik karena perfusi yang rendah, suhu tubuh yang rendah selama operasi diperkirakan menjadi penyebab penurunan fungsi kognitif pasca CABG.

>Mekanisme kerja
Mekanisme kerja piracetam belum diketahui dengan pasti. Para peneliti memperkirakan kerja piracetam melindungi pasien terhadap hipoksia. Beberapa penelitian penelitian memperlihatkan bahwa piracetam melindungi otak melalui efek neuronal dan hemodinamik. Piracetam dapat memperbaiki deformabilitas eritrosit, menurunkan kekentalan darah dan menurunkan hiperaggregitas trombosit yang dapat menurunkan kejadian mikroemboli. Literatur lainnya memperlihatkan kemampuan piracetam memperbaiki daya ingat dan belajar, dengan memfasiliasi pelepasan asetilkolin, sehingga dapat meningkatkan peredaran darah dan meningkatkan metabolisme energi. Selain itu piracetam, yang jika dikombinasikan dengan obat lain, akan meningkatkan suplai darah dan oksigen ke otak. Piracetam juga meningkatkan sintesis sitokrom b5, suatu bagian yang diperlukan dalam transport elektron di mitokondria.

> Tanggung jawab perawat dalam pemberian obat
Supaya dapat tercapainya pemberian obat yang aman , seorang perawat harus melakukan enam hal yang benar : klien yang benar, obat yang benar, dosis yang benar, waktu yang benar, rute yang benar, dan dokumentasi yang benar.
Pada waktu lampau, hanya ada lima hal yang benar dalam pemberian obat. Tetapi kini ada hal keenam yang dimasukkan yaitu dokumentasi. Dua hal tambahan klien juga dapat ditambahkan : hak klien untuk mengetahui alasan pemberian obat, hak klien untuk menolak penggunaan sebuah obat.

a. Klien yang benar dapat dipastikan dengan memeriksa identitas klien, dan meminta klien menyebutkan namanya sendiri. Beberapa klien akan menjawab dengan nama sembarang atau tidak berespon, maka gelang identifikasi harus diperiksa pada setiap klien pada setiap kali pengobatan. Pada keadan gelang identifikasi hilang, perawat harus memastikan identitas klien sebelum setiap obat diberikan.
Dalam keadaan dimana klien tidak memakai gelang identifikasi (sekolah, kesehatan kerja, atau klinik berobat jalan), perawat juga bertanggung jawab untuk secara tepat mengidentifikasi setiap orang pada saat memberikan pengobatan.

b. Obat yang benar berarti klien menerima obat yang telah diresepkan. Perintah pengobatan mungkin diresepkan oleh seorang dokter, dokter gigi, atau pemberi asuhan kesehatan yang memiliki izin praktik dengan wewenang dari pemerintah. Perintah melalui telepon untuk pengobatan harus ditandatangani oleh dokter yang menelepon dalam waktu 24 jam. Komponen dari perintah pengobatan adalah :
(1) tanggal dan saat perintah ditulis,
(2) nama obat,
(3) dosis obat,
(4) rute pemberian,
(5) frekuensi pemberian, dan
(6) tanda tangan dokter atau pemberi asuhan kesehatan.

Meskipun merupakan tanggung jawab perawat untuk mengikuti perintah yang tepat, tetapi jika salah satu komponen tidak ada atau perintah pengobatan tidak lengkap, maka obat tidak boleh diberikan dan harus segera menghubungi dokter tersebut untuk mengklarifikasinya ( Kee and Hayes, 1996 ).

Untuk menghindari kesalahan, label obat harus dibaca tiga kali :
(1) pada saat melihat botol atau kemasan obat,
(2) sebelum menuang / mengisap obat dan
(3) setelah menuang / mengisap obat. Perawat harus ingat bahwa obat-obat tertentu mempunyai nama yang bunyinya hampir sama dan ejaannya mirip, misalnya digoksin dan digitoksin, quinidin dan quinine, Demerol dan dikumarol, dst.

c. Dosis yang benar adalah dosis yang diberikan untuk klien tertentu. Dalam kebanyakan kasus, dosis diberikan dalam batas yang direkomendasikan untuk obat yang bersangkutan. Perawat harus menghitung setiap dosis obat secara akurat, dengan mempertimbangkan variable berikut :
(1) tersedianya obat dan dosis obat yang diresepkan (diminta),
(2) dalam keadaan tertentu, berat badan klien juga harus dipertimbangkan, misalnya 3mg/KgBB/hari.

Sebelum menghitung dosis obat, perawat harus mempunyai dasar pengetahuan mengenai rasio dan proporsi. Jika ragu-ragu, dosis obat harus dihitung kembali dan diperiksa oleh perawat lain.

d. Waktu yang benar adalah saat dimana obat yang diresepkan harus diberikan. Dosis obat harian diberikan pada waktu tertentu dalam sehari, seperti b.i.d ( dua kali sehari ), t.i.d ( tiga kali sehari ), q.i.d ( empat kali sehari ), atau q6h ( setiap 6 jam ), sehingga kadar obat dalam plasma dapat dipertahankan. Jika obat mempunyai waktu paruh (t ½ ) yang panjang, maka obat diberikan sekali sehari. Obat-obat dengan waktu paruh pendek diberikan beberapa kali sehari pada selang waktu yang tertentu . Beberapa obat diberikan sebelum makan dan yang lainnya diberikan pada saat makan atau bersama makanan ( Kee and Hayes, 1996 ; Trounce, 1997)

e. Rute yang benar perlu untuk absorpsi yang tepat dan memadai. Rute yang lebih sering dari absorpsi adalah (1) oral ( melalui mulut ): cairan , suspensi ,pil , kaplet , atau kapsul . ; (2) sublingual ( di bawah lidah untuk absorpsi vena ) ; (3) topikal ( dipakai pada kulit ) ; (4) inhalasi ( semprot aerosol ) ; (5)instilasi ( pada mata , hidung , telinga , rektum atau vagina ) ; dan empat rute parenteral : intradermal , subkutan , intramuskular , dan intravena.

f. Dokumentasi yang benar membutuhkan tindakan segera dari seorang perawat untuk mencatat informasi yang sesuai mengenai obat yang telah diberikan . Ini meliputi nama obat , dosis , rute , waktu dan tanggal , inisial dan tanda tangan perawat . Respon klien terhadap pengobatan perlu di catat untuk beberapa macam obat seperti
(1) narkotik – bagaimana efektifitasnya dalam menghilangkan rasa nyeri – atau analgesik non-narkotik,
(2) sedativa,


0 komentar:

Posting Komentar